Jawaban Atas Syubhat Seputar "Nyanyian/Musik"


Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ وقَدْ رَشَّ حَسَّانُ فِنَاءَ أَطِمِهِ وَأَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِمَاطَينِ وَبَيْنَهُمْ جَارِيةٌ لِحسَّانَ يُقَالُ لَـهَا سِيرِينُ، وَمَعَهَا مِزْهَرٌ لَهَا تُغَنِّيهِمْ وَهِيَ تَقُولُ فِي غِنَائِهَا: هَلْ عَلَيَّ وَيْحَكُمْ * إنْ لَهَوْتُ مِنْ حَرَجٍ. فَتَبَسَّمَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ: لاَ حَرَجَ

Bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar ketika Hasan radhiyallahu 'anhu telah menyirami halaman tempat tinggalnya, sementara para sahabat radhiyallahu 'anhum duduk dua shaf, di tengah-tengah mereka budak perempuan milik Hassan radhiyallahu 'anhu bernama Sirin membawa mizhar-nya (sejenis alat musik berdawai seperti kecapi) berdendang untuk para sahabat. Dalam nyanyiannya dia mengatakan: “Celaka! Apakah ada atasku * dosa jika aku berdendang?” Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tersenyum seraya bersabda: “Tidak mengapa (tidak ada dosa atasmu).”


Sepintas, siapapun yang membaca hadits ini akan berkesimpulan bahwa nyanyian dan alat musik adalah sesuatu yang wajar dan boleh-boleh saja. Demikian dipahami dari zhahir hadits ini. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan hukum atas perbuatan budak Hassan bin Tsabit radhiyallahu 'anhu dengan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam: “La haraj” (tidak mengapa), yang menunjukkan kebolehan apa yang dilakukan Sirin, budak perempuan Hassan bin Tsabit radhiyallahu 'anhu.



Dalam hadits ini juga terdapat taqrir (persetujuan) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada para sahabat radhiyallahu 'anhum yang menikmati mizhar dan mendengarkan alunan suara Sirin. Sehingga dipahami bahwa perbuatan tersebut adalah perkara mubah, sebagaimana telah ditetapkan dalam ilmu ushul bahwa persetujuan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam atas perbuatan yang dilakukan di hadapan beliau menunjukkan bolehnya perbuatan tersebut.



Tinjauan Sanad Hadits

Ibnu ‘Asakir2 menyebutkan hadits Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma di atas dalam kitab beliau Tarikh Dimasyq (12/415) dari jalan Abu Uwais, dari Al-Husain bin Abdillah, dari ‘Ikrimah, dari Abdullah bin ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib radhiyallahu 'anhuma.



Hadits ini tidak shahih dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahkan tergolong hadits yang maudhu’ (palsu). Abul Faraj Ibnul Jauzi memasukkannya dalam kitab beliau Al-Maudhu’at (3/115-116) pada bab Fi Ibahatil Ghina (Bab Tentang Bolehnya Nyanyian). Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu dalam takhrij beliau terhadap risalah Ada`u Ma Wajaba Min Bayani Wadh’il Wadhdha’ina Fi Rajab (hal. 150) mengatakan bahwa hadits ini bathil3.



Batilnya hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma dapat diketahui dari beberapa tinjauan.

Pertama, kelemahan sanadnya.

Kedua, penyelisihannya terhadap Al-Qur`an.

Ketiga, penyelisihannya terhadap As-Sunnah yang shahih.

Keempat, hadits ini sangat bertentangan dengan keadaan sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai generasi terbaik, yang sangat menjaga batasan-batasan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan sangat jauh dari perkara-perkara yang diharamkan.



Empat tinjauan inilah yang insya Allah akan dibahas pada kesempatan kali ini.



Diawali dari tinjauan sanad hadits, kita dapatkan dalam hadits ini dua orang perawi yang diperbincangkan yaitu Al-Husain bin ‘Abdillah dan Abu Uwais.



Perawi pertama, dia adalah Al-Husain bin ‘Abdillah bin ‘Ubaidillah bin ‘Abbas bin ‘Abdil Muththalib Al-Hasyimi Al-Madani.



Berikut kita nukilkan hukum ulama Al-Jarh wa At-Ta’dil tentang Al-Husain bin ‘Abdillah.4

Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu berkata dalam riwayat Al-Atsram:

“Lahu asy-ya`u munkarah (Dia mempunyai beberapa perkara mungkar).”



Yahya bin Ma’in rahimahullahu berkata:

“Huwa dha’if (Dia lemah).”



Abu Zur’ah Ar-Razi rahimahullahu berkata:

“Laisa bi qawiyyin (Dia bukanlah orang yang kuat).”



Abu Hatim Ar-Razi rahimahullahu berkata:

“Dha’iful hadits (Haditsnya lemah).”5



An-Nasa`i rahimahullahu berkata:

“Matruk (Ditinggalkan).”6



Al-Jauzajani rahimahullahu berkata:

“Laa yusytaghal bi haditsihi (Tidak disibukkan dengan haditsnya).”7



Ibnu Hibban rahimahullahu berkata:

“Yuqallibul asanid wa yarfa’ul marasil (Dia membolak-balik sanad dan me-marfu’-kan yang mursal).”8



Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata:

“Dha’if (lemah).”9



Ibnul Jauzi rahimahullahu berkata dalam kitabnya Al-Maudhu’at (3/116) –setelah menyebutkan hadits di atas–:

“Adapun Al-Husain, ‘Ali bin Al-Madini berkata tentangnya: “Taraktu haditsahu (Aku meninggalkan haditsnya).”10



An-Nasa`i berkata:

“Matrukul hadits (Haditsnya ditinggalkan).” As-Sa’di berkata: “Laa yusytaghal bi haditsihi (Tidak disibukkan dengan haditsnya).”



Dari perkataan-perkataan ulama Al-Jarh wa At-Ta’dil di atas didapatkan bahwa mereka bersepakat akan kedhai’fan (kelemahan) Al-Husain. Hal ini tentunya mengakibatkan lemah dan tertolaknya hadits yang diriwayatkannya. Oleh karena itulah Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullahu dalam kitab beliau Mizanul I’tidal (2/292) memasukkan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma ini sebagai salah satu dari kemungkaran-kemungkaran hadits Al-Husain bin ‘Abdillah.



Tentang perawi kedua yaitu Abu Uwais, berkata Ibnul Jauzi:

“ Abu Uwais, namanya adalah ‘Abdullah bin ‘Abdillah bin Uwais. Ahmad (bin Hanbal) dan Yahya (bin Ma’in) berkata: “Dha’iful hadits (Haditsnya lemah).”

Dan Yahya pernah berkata: “Kana yasriqul hadits (Adalah dia mencuri hadits).” (Al-Maudhu’at 3/116)



Adz-Dzahabi berkata tentang Abu Uwais:

“Laisa biqawiyyin (Dia bukan orang yang kuat).”11





footnote:

1 Beliau adalah Hassan bin Tsabit bin Al-Mundzir bin Haram Al-Anshari Al-Khazraji, penyair Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau meninggal tahun 54 H. Lihat Taqrib At-Tahdzib karya Ibnu Hajar Al-’Asqalani.

2 Beliau adalah Al-Hafizh Abul Qasim ‘Ali bin Al-Hasan bin Hibatullah bin Abdillah Asy-Syafi’i. Beliau lebih dikenal dengan sebutan Ibnu ‘Asakir, meninggal tahun 571 H. 3 Lafadz bathil ketika digunakan untuk menghukumi sebuah hadits, semakna dengan lafadz maudhu’ atau makdzub atau hadza min ifkihi. Semuanya adalah lafadz-lafadz sharih (jelas) yang menunjukkan akan kepalsuan hadits. Wallahu a’lam.

4 Lafadz-lafadz jarh (pencacatan rawi) tersebut adalah istilah yang harus dipahami dan dicermati secara khusus dalam ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil. Semua ibarat yang dilontarkan terhadap Al-Husain bin ‘Abdillah dan Abu Uwais adalah jarh (pencacatan) terhadap keduanya. Wallahu a’lam.

5 Ucapan Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in, Abu Hatim Ar-Razi, Abu Zur’ah Ar-Razi, dan An-Nasa`i disebutkan oleh Ibnu Abi Hatim Ar-Razi dalam kitab beliau Al-Jarh Wa At-Ta’dil (2/57).

6 Lihat Adh-Dhu’afa` wal Matrukin karya Al-Imam An-Nasa`i (1/33). Ibnu Abi Hatim juga menukilkan ucapan An-Nasa`i dalam Al-Jarh wa At-Ta’dil (2/57).

7 Lihat Asy-Syajarah Fi Ahwalir Rijal karya Al-Jauzajani, hal. 240.

8 Lihat Al-Majruhin karya Ibnu Hibban Al-Busti (1/242).

9 Lihat Taqribut Tahdzib karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani.

10 Ucapan ‘Ali bin Al-Madini disebutkan Ibnu Abi Hatim dalam Al-Jarh wa At-Ta’dil (2/57). Lihat juga Ad-Dhu’afa` karya Al-‘Uqaili (1/245).

11 Mizanul I’tidal karya Adz-Dzahabi (2/292)
Title : Jawaban Atas Syubhat Seputar "Nyanyian/Musik"
Description : Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma: أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ وقَدْ رَشَّ حَسَّانُ ف...