Buku ‘Meniti Kesempurnaan Iman’ yang ditulis Habib Munzir al-Musawa adalah tulisan sanggahan terhadap karya Syaikh Abdul Aziz bin Baz berjudul ‘Benteng Tauhid’. Banyak permasalahan tauhid yang dikritik oleh Habib Munzir terhadap buku Syaikh Bin Baz tersebut, namun sebenarnya kebenaran adalah apa yang disampaikan Syaikh Bin Bazrahimahullah. Silakan disimak penjelasan berikut ini yang akan menjabarkan kesalahan-kesalahan Habib Munzir dalam bukunya tersebut. Pada bagian ini yang disoroti adalah tentang istighotsah.
Istighotsah adalah permintaan tolong kepada sesuatu untuk suatu hal yang sangat mendesak. Syaikh Bin Baz menjelaskan manhaj Ahlussunnah sebagaimana yang dipahami para Sahabat Nabi, bahwa istighotsah tidak diperbolehkan ditujukan kepada orang-orang yang sudah meninggal.
Perbedaan Orang yang Hidup dengan Orang yang Mati
Habib Munzir menyanggah pendapat Syaikh Bin Baz yang menyatakan tidak boleh berdoa atau beristighotsah kepada orang yang sudah meninggal. Habib Munzir berpendapat bahwa tidak ada bedanya antara orang yang hidup maupun yang mati.
Habib Munzir menyatakan (pada halaman 4-5):
Istighatsah adalah memanggil nama seseorang untuk meminta pertolongannya, untuk sebagian kelompok muslimin hal ini langsung di vonis syirik, namun vonis mereka itu hanyalah karena kedangkalan pemahamannya terhadap syariah islam, Pada hakekatnya memanggil nama seseorang untuk meminta pertolongannya adalah hal yang diperbolehkan selama ia seorang Muslim, Mukmin, Shalih dan diyakini mempunyai manzilah di sisi Allah swt, tak pula terikat ia masih hidup atau telah wafat….
Pendapat Habib Munzir ini adalah pendapat yang salah. Jika kita simak perbuatan dan penjelasan para Sahabat Nabi berdasar atsar yang shahih, niscaya kita akan dapati bahwa mereka tidak pernah beristighotsah kepada orang-orang yang sudah meninggal, bahkan terhadap Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau telah wafat. Tidak ada Sahabat Nabi yang mendatangi kuburan Nabi untuk beristighotsah terhadap hal-hal yang mereka hadapi. Jika terdapat hadits-hadits yang menunjukkan para Sahabat beristighotsah kepada Nabi yang telah meninggal, maka itu adalah hadits-hadits yang lemah atau palsu.
Para Sahabat justru meminta tolong kepada orang sholih yang masih hidup untuk berdoa kepada Allah. Mereka juga ada yang berkesempatan berziarah ke makam Rasulullahshollallaahu ‘alaihi wasallam, namun yang dilakukan hanyalah mengucapkan salam, tidak berdoa di sisi kuburnya. Sebagian keturunan Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam ada yang melihat seseorang berdoa di makam Rasulullah, kemudian melarangnya. Beberapa atsar shohih yang menunjukkan hal itu di antaranya:
- 1. Umar bin alKhottob meminta kepada Abbas paman Nabi yang masih hidup untuk istisqo’(berdoa agar Allah menurunkan hujan). Umar tidak mengajak kaum muslimin untuk beristighotsah kepada Rasulullah shollallaahu alaihi wasallam yang sudah wafat.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ إِذَا قَحَطُوا اسْتَسْقَى بِالْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا
- ‘Dari Anas bin Malik bahwasanya Umar bin alKhottob –semoga Allah meridlainya- jika tertimpa kekeringan bersitisqo’ dengan Abbas bin Abdil Muththolib dan berkata: Ya Allah, sesungguhnya dulu kami bertawassul kepadaMu dengan Nabi kami kemudian engkau turunkan hujan, dan sesungguhnya kami (saat ini) bertawassul kepadaMu dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan kepada kami’(H.R alBukhari hadits no 954 juz 4 halaman 99).
- Dijelaskan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqolaany dengan menukil penjelasan az-Zubair bin Bakkar, bahwa Abbas kemudian berdoa :
اللَّهُمَّ إِنَّهُ لَمْ يَنْزِل بَلَاء إِلَّا بِذَنْبٍ ، وَلَمْ يُكْشَف إِلَّا بِتَوْبَةٍ ، وَقَدْ تَوَجَّهَ الْقَوْم بِي إِلَيْك لِمَكَانِي مِنْ نَبِيّك ، وَهَذِهِ أَيْدِينَا إِلَيْك بِالذُّنُوبِ وَنَوَاصِينَا إِلَيْك بِالتَّوْبَةِ فَاسْقِنَا الْغَيْث
- “ Ya Allah sesungguhnya tidaklah turun bala’ kecuali karena dosa, dan tidaklah disingkap (bala’ tersebut) kecuali dengan taubat. Dan sungguh kaum ini telah menghadapkan diri mereka kepadaMu denganku karena kedudukanku dari NabiMu, dan tangan-tangan kami itu (berlumur) dosa, sedangkan ubun-ubun kami menghadap (menuju) Engkau dengan taubat, maka turunkanlah hujan kepada kami” (Lihat Fathul Baari juz 3 halaman 443).
2. Mu’awiyah bin Abi Sufyan meminta kepada Yazid bin al-Awsad alJurasyi untuk berdoa agar Allah menurunkan hujan
عن سليم بن عامر قال: خرج معاوية يستسقي، فلما قعد على المنبر، قال: أين يزيد بن الأسود ؟ فناداه الناس، فأقبل يتخطاهم. فأمره معاوية، فصعد المنبر، فقال معاوية: اللهم إنا نستشفع إليك بخيرنا وأفضلنا يزيد بن الاسود، يا يزيد، ارفع يديك إلى الله.فرفع يديه ورفع الناس فما كان بأوشك من أن ثارت سحابة كالترس، وهبت ريح، فسقينا حتى كاد الناس أن لا يبلغوا منازلهم
- “ dari Sulaim bin ‘Amir beliau berkata : Mu’awiyah keluar untuk istisqa’, ketika telah naik ke atas mimbar beliau berkata : Mana Yazid bin al-Aswad ? Maka manusiapun memanggilnya, sehingga Yazid bin al-Aswad datang menghadap, maka Mu’awiyah memerintahkan kepadanya maka ia naik mimbar. Mu’awiyah berkata : Ya Allah sesungguhnya kami meminta syafaat kepadaMu dengan manusia yang terbaik dan paling utama di antara kami Yazid bin al-Aswad. Wahai Yazid, angkat tanganmu kepada Allah. Maka Yazid mengangkat tangannya (berdoa) dan manusiapun mengangkat tangannya (berdoa). Tidak berapa lama menjadi basahlah awan bagaikan at-tirs, dan angin bertiup kencang. Maka turunlah hujan kepada kami, sampai-sampai manusia hampir-hampir tidak bisa mencapai tempat tinggalnya” (Karomaatul Awliyaa’ karya Al-Laalikaa-i juz 1 halaman 191, juga disebutkan dalam Siyaar A’laamin Nubalaa’ karya al-Hafidz AdzDzahaby juz 4 halaman 137).
Kalau kita menyebutkan contoh dari Sahabat Mu’awiyah ini, akan ada yang mencibir : ‘kok pakai contoh Mu’awiyah?’ Kemudian dia akan mencela dan mencemooh Sahabat Nabi Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Demikian jauhnya umat dari bimbingan Ulama’ Ahlussunnah sehingga demikian mudah kaum muslimin termakan syubhat kaum syiah yang menjelek-jelekkan para Sahabat Nabi, termasuk Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Maka pada kesempatan kali ini sedikit kami akan uraikan beberapa dalil yang menunjukkan keutamaan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Mu’awiyah bin Abi Sufyan adalah salah seorang sekertaris Nabi, penulis wahyu. Dalil yang menunjukkan bahwa Mu’awiyah adalah penulis wahyu yang mendampingi Nabi adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibnu Abbas bahwa Abu Sufyan meminta 3 hal kepada Nabi, di antaranya agar Nabi menjadikannya sebagai penulisnya dan Nabi menyanggupinya (Lihat Shahih Muslim pada Bab min Fadhaaili Abi Sufyan bin Harb radliyallahu ‘anhu’)
Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam berdoa untuk Mu’awiyah bin Abi Sufyan :
اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ هَادِيًا مَهْدِيًّا وَاهْدِ بِهِ
“Ya Allah jadikanlah ia sebagai pemberi petunjuk yang mendapatkan petunjuk, dan berilah ia hidayah dengannya” (H.R atTirmidzi).
اللَّهُمَّ عَلِّمْ مُعَاوِيَةَ الْكِتَابَ وَالْحِسَابَ وَقِهِ الْعَذَابَ
“ Ya Allah ajarkanlah kepada Mu’awiyah al-Kitab, perhitungan, dan lindungilah ia dari adzab” (H.R Ahmad).
Dua contoh perbuatan Sahabat Nabi di atas menunjukkan kedalaman ilmu mereka. Mereka tahu bahwa sebenarnya meminta kepada orang yang sudah meninggal adalah terlarang. Kalau tidak terlarang, niscaya mereka lebih memilih meminta langsung kepada Rasulullahshollallaahu ‘alaihi wasallam meski beliau telah meninggal.
Siapakah yang berani meragukan kecintaan dan pengagungan para Sahabat terhadap Nabi? Demikian besarnya pengagungan dan kecintaan tersebut, sampai – sampai para Sahabat merasa sangat tidak pantas jika mereka menjadi Imam sholat dalam keadaan Rasul menjadi makmum. Sungguh indah pelajaran yang bisa diambil dari hadits Muttafaqun ‘alaih dari Sahl bin Sa’ad as-Saa’idy ketika Rasulullah pergi ke Bani ‘Amr bin ‘Auf untuk mendamaikan perselisihan di sana. Pada saat sudah masuk waktu sholat dan Rasul belum datang, para Sahabat meminta Abu Bakar menjadi Imam. Abu Bakar pun maju menjadi Imam. Ketika Rasul datang dan masuk dalam shof, para Sahabat yang menjadi makmum memberi isyarat kepada Abu Bakar agar mundur dan memberikan peluang kepada Rasul untuk maju menjadi Imam. Ketika banyak Sahabat yang memberi isyarat dengan bunyi tepukan tangan, Abu Bakr menoleh dan beliau melihat Rasul ada pada shof. Rasul sebenarnya memerintahkan kepada Abu Bakr untuk tetap menjadi Imam, tapi Abu Bakar tidak mau. Beliau mundur, agar Rasul bisa maju menggantikannya sebagai Imam. Selepas sholat, Abu Bakr ditanya oleh Nabi :‘Wahai Abu Bakar mengapa engkau tidak tetap saja di tempatmu (sebagai Imam) ketika aku perintahkan?’ Abu Bakar menjawab :
مَا كَانَ لِابْنِ أَبِي قُحَافَةَ أَنْ يُصَلِّيَ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“ tidak sepantasnya bagi Ibnu Abi Quhaafah (Abu Bakr) untuk sholat di depan Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam” ( muttafaqun ‘alaih).
Sehingga, terbantahlah persangkaan orang yang mengatakan : Sesungguhnya para Sahabat tidaklah berdoa kepada Nabi setelah meninggalnya sekedar berpindah dari suatu hal yang utama menuju suatu hal yang boleh (tidak lebih utama). Bukankah tidak mengapa bagi Abu Bakr untuk menjadi Imam bagi Rasul karena beliau sendiri yang memerintahkan untuk tetap pada tempatnya? Tapi Abu Bakr merasa tidak pantas. Sebagaimana jika meminta doa dan beristighotsah kepada Nabi adalah disyariatkan meskipun beliau sudah meninggal, maka para Sahabat tidaklah akan berpindah meminta kepada orang lain yang masih hidup untuk berdoa, karena demikian mulyanya kedudukan Nabi bagi para Sahabatnya, mereka tidak merasa pantas mendahulukan orang lain dibandingkan Nabi Muhammad shollallaahu ‘alaihi wasallam.
3. Nabi Muhammad shollallaahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada Umar bin alKhottob dan para Sahabat yang lain agar jika bertemu dengan Uwais, hendaknya meminta kepadanya untuk memohonkan ampunan kepada Allah. Perintah Nabi ini dilaksanakan oleh Umar dengan berusaha bertemu langsung dengan Uwais dan meminta kepadanya untuk berdoa kepada Allah memohonkan ampunan. Tidak ada seorangpun dari Sahabat Nabi setelah itu sepeninggal Uwais yang memohon ampunan di dekat makam Uwais.
عَنْ أُسَيْرِ بْنِ جَابِرٍ قَالَ كَانَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ إِذَا أَتَى عَلَيْهِ أَمْدَادُ أَهْلِ الْيَمَنِ سَأَلَهُمْ أَفِيكُمْ أُوَيْسُ بْنُ عَامِرٍ حَتَّى أَتَى عَلَى أُوَيْسٍ فَقَالَ أَنْتَ أُوَيْسُ بْنُ عَامِرٍ قَالَ نَعَمْ قَالَ مِنْ مُرَادٍ ثُمَّ مِنْ قَرَنٍ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَكَانَ بِكَ بَرَصٌ فَبَرَأْتَ مِنْهُ إِلَّا مَوْضِعَ دِرْهَمٍ قَالَ نَعَمْ قَالَ لَكَ وَالِدَةٌ قَالَ نَعَمْ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ يَأْتِي عَلَيْكُمْ أُوَيْسُ بْنُ عَامِرٍ مَعَ أَمْدَادِ أَهْلِ الْيَمَنِ مِنْ مُرَادٍ ثُمَّ مِنْ قَرَنٍ كَانَ بِهِ بَرَصٌ فَبَرَأَ مِنْهُ إِلَّا مَوْضِعَ دِرْهَمٍ لَهُ وَالِدَةٌ هُوَ بِهَا بَرٌّ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لَأَبَرَّهُ فَإِنْ اسْتَطَعْتَ أَنْ يَسْتَغْفِرَ لَكَ فَافْعَلْ فَاسْتَغْفِرْ لِي فَاسْتَغْفَرَ لَهُ
Dari Usair bin Jabir ia berkata: Umar bin al-Khottob jika datang sepasukan dari Yaman akan berkata: ‘Apakah di antara kalian ada Uwais bin Amir’? (Demikian seterusnya) sampai datang Uwais. Beliau bertanya: Apakah engkau Uwais bin Amir? Ia menjawab: Ya. Umar bertanya: dari Murod, kemudian ke Qoron? Ia berkata: Ya. Umar bertanya: Apakah engkau dulu memiliki penyakit (semacam) kusta kemudian sembuh, kecuali sebesar dirham. Ia berkata: Ya. Umar bertanya: Apakah engkau memiliki ibu? Ia berkata: Ya. Umar berkata: Aku mendengar Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: Akan datang kepada kalian Uwais bin Amir bersama sepasukan penduduk Yaman dari Murod kemudian Qoron, dulunya ia memiliki penyakit (semacam) kusta kemudian ia sembuh, kecuali sebesar dirham, ia memiliki ibu yang ia berbakti kepadanya. Kalau seandainya ia bersumpah atas nama Allah, niscaya Allah perkenankan. Jika engkau bisa meminta agar ia memohon ampunan untukmu, lakukanlah. Maka (wahai Uwais) mohonkan ampun untukku. Kemudian (Uwais memohonkan ampunan untuk Umar). (H.R Muslim).
Dalam riwayat lain, Nabi memerintahkan dengan lafadz tidak khusus untuk Umar, namun untuk Sahabat-Sahabat lain secara umum, dengan Sabda: Nabi : “perintahkanlah dia agar beristighfar untuk kalian“
عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ خَيْرَ التَّابِعِينَ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ أُوَيْسٌ وَلَهُ وَالِدَةٌ وَكَانَ بِهِ بَيَاضٌ فَمُرُوهُ فَلْيَسْتَغْفِرْ لَكُمْ
Dari Umar bin al-Khottob beliau berkata : sesungguhnya aku mendengar Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya sebaik-baik tabi’in adalah seorang laki-laki yang disebut Uwais, ia memiliki ibu dan ia memiliki tanda putih. Maka perintahkanlah dia agar beristighfar untuk kalian (H.R Muslim).
4. Ibnu Umar hanya mencukupkan mengucapkan salam saja kepada Nabi, Abu Bakr, dan Umar ketika berziarah ke makam mereka. Tidak lebih dari itu. Beliau tidak memanfaatkan kesempatan itu untuk berdoa di dekat makam mereka.
أنه كان إذا قدم من سفر صلى ركعتين في مسجد النبي صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم ثم أتى القبر فقال : السلام عليك يا رسول الله ، السلام عليك يا أبا بكر ، السلام عليك يا أبه.
رواه مُسَدَّد ومحمد بن يحيى بن أبي عُمَر والبيهقي موقوفًا بسند صحيح
(إتحاف الخيرة المهرة 3- 259)
Bahwasanya beliau (Ibnu Umar) jika baru datang dari safar sholat 2 rokaat di masjid Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam kemudian mendatangi kuburan (Nabi) dan berkata: Assalaamu ‘alaika yaa Rasulallaah (semoga keselamatan untukmu wahai Rasulullah), assalaamu’alaika yaa Abaa Bakr (semoga keselamatan untukmu wahai Abu Bakr), assalaamu ‘alaika ya abih (semoga keselamatan untukmu wahai ayahku)(riwayat Musaddad dan Muhmammad bin Yahya bin Abi Umar dan al-Baihaqy secara mauquf, lihat Ittihaaf alkhoiroh alMahroh juz 3 halaman 259 karya Imam al-Bushiri, seorang ahlul hadits bermadzhab asy-Syafi’i).
5. Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib (cucu Ali bin Abi Tholib) melarang seorang berdoa di makam Nabi
عن علي بن الحسين أنه رأى رجلا يجئ إلى فرجة كانت عند قبر النبي صلى الله عليه وسلم فيدخل فيها فيدعو فقال ألا أحدثك بحديث سمعته من أبي عن جدي عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : (لا تتخذوا قبري عيدا ولا بيوتكم قبورا وصلوا علي فإن صلاتكم تبلغني حيثما كنتم(
“ dari ‘Ali bin Husain bahwasanya ia melihat seorang laki-laki mendatangi sebuah celah dekat kuburan Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam kemudian ia masuk ke dalamnya dan berdoa. Maka Ali bin Husain berkata: ‘Maukah anda aku sampaikan hadits yang aku dengar dari ayahku dari kakekku dari Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: ‘Janganlah kalian menjadikan kuburanku sebagai ‘ied, dan jangan jadikan rumah kalian sebagai kuburan. Dan bersholawatlah kepadaku karena sholawat kalian akan sampai kepadaku di manapun kalian berada’ (diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf-nya(2/268), dan Abdurrozzaq dalam mushonnaf-nya juz 3 halaman 577 hadits nomor 6726).
Hadits tersebut dihasankan oleh al-Hafidz As-Sakhowy (murid Ibnu Hajar al-‘Asqolaany). Silakan dilihat pada kitab al-Qoulul Badi’ fis Sholaati ‘ala habiibisy Syafii’ halaman 228.
Perlu dicermati bahwa Ali bin Husain bin Ali bin Abi Tholib adalah cucu Ali bin Abi Tholib dan tidak lain adalah cicit Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam. Beliau adalah keturunan langsung Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam.
Secara umum, alQur’an telah mengisyaratkan perbedaan keadaan orang yang hidup dengan orang yang mati:
وَمَا يَسْتَوِي الْأَعْمَى وَالْبَصِيرُ (19) وَلَا الظُّلُمَاتُ وَلَا النُّورُ (20) وَلَا الظِّلُّ وَلَا الْحَرُورُ (21) وَمَا يَسْتَوِي الْأَحْيَاءُ وَلَا الْأَمْوَاتُ إِنَّ اللَّهَ يُسْمِعُ مَنْ يَشَاءُ وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِي الْقُبُورِ (22)
Tidaklah sama antara orang buta dengan orang yang melihat(19) Tidak pula sama kegelapan dengan cahaya (20) Tidak pula naungan dengan sesuatu yang panas (21) Dan tidak sama antara orang yang hidup dengan orang yang mati. Sesungguhnya Allah memperdengarkan kepada orang –orang yang dikehendakiNya, dan tidaklah engkau mampu memperdengarkan kepada orang yang berada di (alam) kubur(22)(Q.S Fathir :19-22).
Jika kita simak tafsir alBaghowy (salah seorang Imam yang bermadzhab asy-Syafi’i) akan kita dapati penjelasan bahwa dalam ayat tersebut Allah mempermisalkan keadaan orang yang beriman dengan orang kafir seperti orang yang hidup dengan orang mati. Orang kafir tidak akan bermanfaat dakwah dan nasehat kepadanya, sebagaimana orang-orang yang telah dikubur tidak akan bisa menjawab (seruan).
Berdalil dengan Permintaan Syafaat kepada Nabi-Nabi Hari Kiamat
Habib Munzir juga menyanggah penjelasan Syaikh Bin Baz dengan dalil permintaan syafaat orang-orang pada hari kiamat ke para Nabi. Bermula dari Nabi Adam, kemudian Nuh, dan seterusnya hingga Nabi Muhammad shollallaahu ‘alaihi wasallam.
Habib Munzir menyatakan (halaman 6-7):
Rasul saw memperbolehkan Istighatsah, sebagaimana hadits beliau saw: “Sungguh matahari mendekat di hari kiamat hingga keringat sampai setengah telinga, dan sementara mereka dalam keadaan itu mereka beristighatsah (memanggil nama untuk minta tolong) kepada Adam, lalu mereka beristighatsah kepada Musa, Isa, dan kesemuanya tak mampu berbuat apa apa, lalu mereka beristighatsah kepada Muhammad saw” (Shahih Bukhari hadits no.1405), juga banyak terdapat hadits serupa pada Shahih Muslim hadits No.194, shahih Bukhari hadits No.3162, 3182, 4435, dan banyak lagi hadist–hadits shahih yang Rasul saw menunjukkan ummat manusia beristighatsah pada para Nabi dan Rasul, bahkan Riwayat Shahih Bukhari dijelaskan bahwa mereka berkata pada Adam, Wahai Adam, sungguh engkau adalah ayah dari semua manusia.. dst.. dst…
Dan Adam as berkata: “Diriku..diriku.., pergilah pada selainku.., hingga akhirnya mereka berIstighatsah memanggil–manggil Muhammad saw, dan Nabi saw sendiri yg menceritakan ini, dan menunjukkan beliau tak mengharamkan Istighatsah.
Maka hadits ini jelas-jelas merupakan rujukan bagi istighatsah, bahwa Rasul saw menceritakan bahwa orang-orang beristighatsah kepada manusia, dan Rasul saw tidak mengatakannya syirik, namun jelaslah Istighatsah di hari kiamat ternyata hanya untuk Sayyidina Muhammad saw. (selesai perkataan Habib Munzir).
Pernyataan Habib Munzir di atas sebenarnya tidak tepat jika digunakan untuk menyanggah penjelasan Syaikh Bin Baz. Sebab, hadits tersebut adalah dalil bolehnya meminta tolong kepada seorang yang masih hidup yang hadir di dekat kita. Dalam hal ini Syaikh Bin Baz tidak mengingkari kebolehan meminta tolong atau beristighotsah kepada seorang yang masih hidup dan dipandang mampu untuk memberikan pertolongan saat itu.
Syaikh Bin Baz menyatakan:
Adapun meminta tolong kepada seseorang yang masih hidup serta hadir untuk melakukan seseuatu yang dalam batas kemampuannya, tidaklah termasuk perbuatan syirik. Akan tetapi itu merupakan hal–hal biasa yang boleh dilakukan sesama kaum muslimin, sebagaimana yang diabadikan Allah dalam kisah Nabi Musa.
“Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya” QS. Al Qashash : 15. (Selesai penjelasan Syaikh Bin Baz, dinukil dari buku yang sama halaman 1).
Hal yang dilakukan oleh orang-orang pada hari kiamat tersebut adalah mereka mendatangi Nabi-Nabi yang dipandang mampu memberikan syafaat, mendekatinya dan berbicara di hadapannya. Bukannya memanggil-manggil nama Nabi-Nabi tersebut dari kejauhan dan tidak terlihat atau Nabi itu berada di alam lain. Berbeda dengan seorang yang beristighotsah di makam Nabi, pada saat mereka di alam dunia, sedangkan Nabi-Nabi itu telah berada di alam barzakh. Jelas hal demikian tidak diperbolehkan. Telah lewat penjelasan tentang tidak diperbolehkannya hal tersebut sebagaimana para Sahabat Nabi tidak ada yang melakukannya. Juga telah dijelaskan di atas bahwa cucu Ali bin Abi Tholib sendiri mengingkari perbuatan seorang yang berdoa di sisi makam Nabi Muhammad shollallaahu ‘alaihi wasallam.
Sehingga, Habib Munzir dalam hal ini telah menyanggah tulisan Syaikh Bin Baz dengan pendalilan yang tidak pada tempatnya.
Kesalahan dalam Berhujjah dengan Hadits yang Sangat Lemah
Habib Munzir menyatakan (halaman 7):
Demikian pula diriwayatkan bahwa dihadapan Ibn Abbas ra ada seorang yang keram kakinya, lalu berkata Ibn Abbas ra: “Sebut nama orang yang paling kau cintai..!”, maka berkata orang itu dengan suara keras.. : “Muhammad..!”, maka dalam sekejap hilanglah sakit keramnya (diriwayatkan oleh Imam Hakim, Ibn Sunniy, dan diriwayatkan oleh Imam Tabrani dengan sanad hasan) dan riwayat ini pun diriwayatkan oleh Imam Nawawi pada Al Adzkar.
Jelaslah sudah bahwa riwayat ini justru bukan mengatakan musyrik pada orang yang memanggil nama seseorang saat dalam keadaan tersulitkan, justru Ibn Abbas ra
yang mengajari hal ini (selesai perkataan Habib Munzir).
Kisah tentang seorang yang kram kakinya kemudian diminta untuk menyebut nama orang yang paling dicintai, dalam hal ini Habib Munzir berdalil dengan hadits yang sangat lemah. Hadits tersebut adalah:
وعن مجاهد قال: خدرت رِجْلُ رَجُلٍ عند ابن عباس رضي الله عنهما فقال له ابن عباس: اذكر أحب الناس إليك. فقال: محمد ( فذهب خدره، فأخرجه ابن السني في “عمل اليوم والليلة” (169)، وفي إسناده: غياث بن إبراهيم كذبوه. قال ابن معين: كذاب خبيث
Dari Mujahid ia berkata: Kaki seorang laki-laki kram ketika ia berada di sisi Ibnu Abbas, kemudian Ibnu Abbas berkata: Sebutlah (nama) orang yang paling kamu cintai. Kemudian orang itu berkata:’ Muhammad’. Maka sembuhlah orang itu dari kramnya. (Diriwayatkan oleh Ibnus Sunni dalam amalul yaum wallailah).
Hadits ini tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, karena di dalam sanadnya terdapat perawi yang bernama Ghoyyats bin Ibrohim. Ia adalah perawi yang pendusta. Imam Ahmad bin Hanbal berkata: Ghoyyats bin Ibrohim matrukul hadits, manusia (Ahlul hadits) meninggalkan hadits darinya. Yahya bin Ma’in berkata: “Pendusta tidak bisa dipercaya” (Lihat kitab al-Jarh wat Ta’dil karya Ibnu Abi Hatim juz 7 halaman 57 no perawi 327). Sehingga tidak benar jika dikatakan bahwa sanad hadits tersebut hasan.
Berdalil dengan Kisah Tsunami Aceh
Habib Munzir menyatakan (halaman 7-8):
Kita bisa melihat kejadian Tsunami di aceh beberapa tahun yang silam, bagaimana air laut yang setinggi 30 meter dengan kecepatan 300km dan kekuatannya ratusan juta ton, mereka tak menyentuh masjid tua dan makam makam shalihin, hingga mereka yg lari ke makam shalihin selamat, inilah bukti bahwa Istighatsah dikehendaki oleh Allah swt, karena kalau tidak lalu mengapa Allah jadikan di makam–makam shalihin itu terdapat benteng yang tak terlihat membentengi air bah itu, yang itu sebagai isyarat Ilahi bahwa demikianlah Allah memuliakan tubuh yang taat pada Nya swt, tubuh tubuh tak bernyawa itu Allah jadikan benteng untuk mereka yang hidup.., tubuh yang tak bernyawa itu Allah jadikan sumber Rahmat dan perlindungan Nya swt kepada mereka–mereka yang berlindung dan lari ke makam mereka.
Kesimpulannya: mereka yang lari berlindung pada hamba–hamba Allah yang shalih mereka selamat, mereka yang lari ke masjid–masjid tua yang bekas tempat sujudnya orang–orang shalih maka mereka selamat, mereka yang lari dengan mobilnya tidak selamat, mereka yang lari mencari tim SAR tidak selamat. Pertanyaannya adalah: kenapa Allah jadikan makam sebagai perantara perlindungan-Nya swt? kenapa bukan orang yang hidup? kenapa bukan gunung? kenapa bukan perumahan?.
Jawabannya bahwa Allah mengajari penduduk bumi ini beristighatsah pada shalihin (selesai pernyataan Habib Munzir).
Dari penjelasan tersebut, Habib Munzir ingin mengajak pembaca berpikir dan mengambil pelajaran dari kisah di balik bencana Tsunami Aceh. Habib Munzir menyatakan: bagaimana air laut yang setinggi 30 meter dengan kecepatan 300km dan kekuatannya ratusan juta ton, mereka tak menyentuh masjid tua dan makam makam shalihin, hingga mereka yg lari ke makam shalihin selamat, inilah bukti bahwa Istighatsah dikehendaki oleh Allah swt, karena kalau tidak lalu mengapa Allah jadikan di makam–makam shalihin itu terdapat benteng yang tak terlihat membentengi air bah itu.
Perlu diketahui bahwa pada saat bencana Tsunami Aceh yang lalu, terdapat beberapa masjid (bukan hanya satu) yang selamat saat bangunan sekelilingnya hancur. Yang lebih perlu dicermati lagi, bangunan-bangunan tempat ibadah yang selamat saat sekelilingnya hancur ternyata bukan hanya masjid. Tapi juga beberapa gereja dan kelenteng-kelenteng. Apakah dari fenomena ini kemudian akan diambil kesimpulan bahwa tempat-tempat ibadah yang lain tersebut juga diridlai oleh Allah Subhaanahu Wa Ta’ala?
Perlu dipahami, bahwa keselamatan dari ancaman kematian bukanlah khusus untuk orang-orang yang beriman. Pada saat terjadi bencana Tsunami Aceh, sebagian orang-orang yang tidak beriman juga Allah beri kesempatan hidup. Bahkan, orang kafir yang kokoh dalam kekafirannya ada yang Allah selamatkan sebagai bentuk tipu daya dan istidraj dari Allah, kemudian ia mengira bahwa dengan sebab kekafiran tersebut ia terselamatkan. Sebaliknya, tidak sedikit orang-orang yang shalih dan beriman Allah takdirkan meninggal dengan sebab peristiwa itu.
Tidak sedikit pula orang yang Allah selamatkan di tempat-tempat yang bukan tempat ibadah. Ada yang selamat karena berpegangan dengan pohon kelapa, dan sebagainya.
Keselamatan dari kematian karena peristiwa tertentu bukanlah khusus untuk orang beriman saja. Bukankah dalam banyak pertempuran beberapa kali Nabi dan para Sahabat mengalami kekalahan. Tidak sedikit Sahabat Nabi yang Allah pilih sebagai syahid. Tidak sedikit pula dari orang musyrikin Quraisy yang berkali-kali ikut pertempuran namun terus Allah berikan kehidupan.
Hal-hal semacam itu bukanlah patokan untuk menilai apakah perbuatan itu syar’i atau tidak. Patokan utama bagi seorang muslim adalah dalil syar’i dari alQuran dan hadits yang shahih dengan pemahaman para Sahabat Nabi. Jika seorang telah mengamalkan Sunnah Nabi dengan tepat dan niat yang ikhlas kemudian dengan sebab itu Allah berikan keselamatan, maka itulah yang bisa dijadikan ibroh (pelajaran). Namun, jika seseorang sedang melakukan perbuatan yang melanggar syariat Allah dengan kemaksiatan (baik itu kesyirikan, kebid’ahan, atau dosa-dosa lain), namun justru Allah beri keuntungan-keuntungan duniawi kepadanya, maka dikhawatirkan itu adalah istidraj.
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا رَأَيْتَ اللَّهَ يُعْطِي الْعَبْدَ مِنْ الدُّنْيَا عَلَى مَعَاصِيهِ مَا يُحِبُّ فَإِنَّمَا هُوَ اسْتِدْرَاجٌ
“Jika engkau melihat Allah memberikan (kenikmatan) dunia kepada seorang hamba karena kemaksiatannya, dalam hal-hal yang disenangi hamba tersebut. Ketahuilah sesungguhnya itu adalah istidraj (H.R Ahmad).
(Abu Utsman Kharisman)
Description : Buku ‘Meniti Kesempurnaan Iman’ yang ditulis Habib Munzir al-Musawa adalah tulisan sanggahan terhadap karya Syaikh Abdul Aziz bin Baz berjud...