Bersitighotsah Kepada Mayat

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

يَجْمَعُ اللهُ النَّاسَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيَقُوْلُوْنَ لَوِ اسْتَشْفَعْنَا عَلَى رَبِّنَا حَتَّى يُرِيْحَنَا مِنْ مَكَانِنَا، فَيَأْتُوْنَ آدَمَ فَيَقُوْلُوْنَ أَنْتَ الَّذِي خَلَقَكَ اللهُ بِيَدِهِ وَنَفَخَ فِيْكَ مِنْ رُوْحِهِ وَأَمَرَ الْمَلَائِكَةَ فَسَجَدُوْا لَكَ فَاشْفَعْ لَنَا عِنْدَ رَبِّنَا، فَيَقُوْلُ لَسْتُ هُنَاكُمْ وَيَذْكُرُ خَطِيْئَتَهُ وَيَقُوْلُ ائْتُوْا نُوْحًا أَوَّلَ رَسُوْلٍ بَعَثَهُ اللهُ، فَيَأْتُوْنَهُ فَيَقُوْلُ لَسْتُ هُنَاكُمْ وَيَذْكُرُ خَطِيْئَتَهُ ائْتُوْا إِبْرَاهِيْمَ الَّذِي اتَّخَذَهُ اللهُ خَلِيْلاً، فَيَأْتُوْنَهُ فَيَقُوْلُ : لَسْتُ هُنَاكُمْ وَيَذْكُرُ خَطِيْئَتَهُ ائْتُوا مُوْسَى الَّذِي كَلَّمَهُ اللهُ فَيَأْتُوْنَهُ فَيَقُوْلُ لَسْتُ هُنَاكُمْ فَيَذْكُرُ خَطِيْئَتَهُ ائْتُوا عِيْسَى فَيَأْتُونَهُ فَيَقُوْلُ لَسْتُ هُنَاكُمْ ائْتُوا مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ فَيَأْتُوْنِي فَأَسْتَأْذِنُ عَلَى رَبٍّي

Allah mengumpulkan manusia pada hari kiamat, maka mereka berkata, “Bagaimana kalau kita mencari syafaat agar Allah mengistirahatkan kita dari tempat kita ini”. Maka merekapun mendatangi Adam, mereka berkata : “Engkaulah orang yang telah Allah diciptakan oleh dengan tanganNya dan Allah telah meniupkan dari ruh ciptaanNya kepadamu dan memerintahkan para malaikat maka merekapun sujud kepadamu, maka berilah syafaat bagi kami di sisi Rob kami”. Maka Adam berkata, “Aku tidak pantas” dan Adam menyebutkan kesalahannya dan berkata, “Pergilah ke Nuuh, rasul yang pertama kali Allah utus !”. Maka merekapun mendatangi Nuuh, dan beliau berkata, “Aku tidak pantas”, lalu ia menyebutkan kesalahannya, ia berkata, “Pergilah kalian ke Ibrahim yang telah dijadikan Allah sebagai kekasih Allah !”. Maka merekapun mendatanginya dan ia berkata, “Aku tidak pantas”, dan ia menyebutkan kesalahannya, (dan berkata) : “Datangilah Musa yang Allah telah berbicara dengannya”. Maka merekapun mendatanginya, lalu ia berkata, “Aku tidak pantas” dan ia menyebutkan kesalahannya, (dan berkata), “Datangilah Isa”. Maka merekapun mendatangi Isa, lalu ia berkata, “Aku tidak pantas, pergilah ke Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah diampuni dosa-dosanya yang lampau dan yang mendatang”. Maka merekapun mendatangiku, lalu aku meminta izin kepada Robku….” (HR Al-Bukhari no 6565 dan Muslim no 193)

Jawaban dari pendalilan ini dari beberapa sisi :

Pertama : Kondisinya jelas tatkala itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan hidup –setelah dibangkitkan dari kuburan beliau- dan manusia juga dalam keadaan hidup karena telah dibangkitkan dari kuburan mereka. Mereka berbicara dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Nabi juga berbicara dengan mereka. Tentunya ini berbeda dengan kondisi seseorang beristighootsah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dalam keadaan telah wafat dan dalam keadaan di kuburan.

Kedua : Dalam hadits ini manusia tidak meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menghilangkan kesulitan dan kepayahan yang mereka hadapi, akan tetapi mereka hanya meminta kepada Nabi untuk berdoa kepada Allah agar menghilangkan kesulitan yang mereka hadapi (dan para ulama telah sepakat akan bolehnya bertawassul dengan meminta kepada seorang mukmin untuk mendoakannya kepada Allah), maka apakah sama dengan orang yang datang kepada kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian minta agar diberi rizki atau pekerjaan, atau diberi keturunan, dll ??!! apalagi yang datang kepada kuburan selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam??!!.

Ketiga : Lihatlah dalam hadits ini ternyata manusia telah meminta pertolongan kepada para nabi ‘alaihim salaam, mereka meminta pertolongan mulai dari Nabi Adam ‘alaihis salaam hingga akhirnya kepada Nabi Muhammad. Semua nabi menolak untuk memberi pertolongan untuk memberi syafaat kecuali Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kalau para nabi saja seluruhnya menolak memberi bantuan bahkan para nabi menyebutkan kesalahan-kesalahan yang pernah mereka lakukan, lantas coba bandingkan dengan….

– Orang-orang yang pergi ke kuburan orang sholeh yang kesholehannya sangatlah jauh dan tidak bisa dibandingkan dengan kesholehan para nabi??, lantas dengan pede-nya merasa orang sholeh tersebut akan membantunya??!!

– Bahkan sebagian para pemakmur kuburan terkadang meminta ke kuburan orang yang tidak jelas…bahkan terkadang meminta ke kuburan orang yang menyeru kepada pluralisme?? Yang menyatakan semua agama sama !!!, yang menyatakan bahwa orang yahudi dan nashrani juga masuk surga !!!!

– Bahkan sebagian orang yang mewasiatkan agar kuburannya kelak dikunjungi ??!!, sebagaimana yang disampaikan oleh As-Sya’rooni dalam Tobaqootnya, dimana ada salah seorang tokoh sufi yang berkata tatkala sakit akan meninggal : “Barangsiapa yang memiliki hajat (kebutuhan) maka hendaknya ia datang ke kuburanku dan hendaknya ia meminta hajatnya maka aku akan memenuhi hajatnya” (At-Thobaqoot Al-Kubroo karya Asy-Sya’rooni 2/518).

Keempat : Tidak semua permintaan pertolongan (istighootsah) yang ditujukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dipenuhi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi pernah bersabda :

لاَ أُلْفِيَنَّ أَحَدَكُمْ يَومَ الْقِيَامَةِ عَلَى رَقَبَتِهِ شَاةٌ لَهَا ثُغَاءٌ عَلَى رَقَبَتِهِ فَرَسٌ لَهُ حَمْحَمَةٌ يَقُوْلُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ أَغِثْنِي، فَأَقُوْلُ لاَ أَمْلِكُ لَكَ شَيْئًا قَدْ أَبْلَغْتُكَ وَعَلَى رَقَبَتِهِ بَعِيْرٌ لَهُ رُغَاءٌ يَقُوْلُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ أَغِثْنِي، فَأَقُوْلُ : لاَ أَمْلِكُ لَكَ شَيْئًا قَدْ أَبْلَغْتُكَ، وَعَلَى رَقَبَتِهِ صَامِتٌ فَيَقُوْلُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ أَغِثْنِي فَأَقُوْلُ : لاَ أَمْلِكُ لَكَ شَيْئًا قَدْ أَبْلَغْتُكَ أَوْ عَلَى رَقَبَتِهِ رقَاعٌ تُخْفِقُ فَيَقُوْلُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ أَغِثْنِي، فَأَقُوْلُ : لاَ أَمْلِكُ لَكَ شَيْئًا قَدْ أَبْلَغْتُكَ

“Sungguh aku tidak ingin mendapati salah seorang dari kalian –pada hari kiamat- di atas lehernya ada seekor kambing yang mengembek, di atas lehernya ada seekor kuda yang meringkik, seraya berkata (*beristighotsah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), “Wahai Rasulullah tolonglah aku”, maka aku berkata, “Aku tidak bisa berbuat sesuatupun kepadamu, aku telah menyampaikannya kepadamu”, dan (*salah seorang dari kalian) yang di atas lehernya ada seekor untuk yang bersuara lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah agitsni (tolonglah aku) !”, maka aku berkata, “Aku tidak bisa berbuat sesuatupun kepadamu, aku telah menyampaikan kepadamu. Dan (*salah seorang dari kalian) di atas lehernya emas dan perak, seraya berkata, “Wahai Rasulullah tolognlah aku”, maka aku berkata, “Aku tidak bisa berbuat sesuatupun kepadamu, aku telah menyampaikan. Atau (*salah seorang dari kalian) di atas lehernya ada kertas-kertas yang melambai-lambai (*yaitu kertas tempat catatan hak-hak orang lain yang tidak ia tunaikan atau ia akhirkan), lalu berkata, “Wahai Rasulullah, tolonglah aku”, maka aku berkata, “Aku tidak bisa berbuat sesuatupun kepadamu, aku telah menyampaikan kepadamu” (HR Al-Bukhari no 3073 dan Muslim no 1831)

============
“Demikian pula diriwayatkan bahwa dihadapan Ibn Abbas ra ada seorang yang keram kakinya, lalu berkata Ibn Abbas ra : “Sebut nama orang yg paling kau cintai..!”, maka berkata orang itu dengan suara keras.. : “Muhammad..!”, maka dalam sekejap hilanglah sakit keramnya (diriwayatkan oleh Imam Hakim, Ibn Sunniy, dan diriwayatkan oleh Imam Tabrani dengan sanad hasan) dan riwayat ini pun diriwayatkan oleh Imam Nawawi pada Al Adzkar.

Sanggahan terhadap pendalilan ini dari beberapa sisi :

PERTAMA : Riwayat ini adalah riwayat yang lemah.

Ibnu Sunniy meriwayatkan dalam kitabnya ‘amal al-Yaum wa al-Lailah dengan sanadnya :
“…Ada seseorang yang keram kakinya di sisi Ibnu Abbaas, maka Ibnu Abbaas berkata, “Sebutlah orang yang paling engkau cintai”, maka orang tersebut berakata, “Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam”, maka hilanglah keramnya tersebut” (‘Amal al-Yaum wa al-Lailah karya Ibnu Sunniy 88-89 no 169)

Dari jalan Ibnu Sunniy juga diriwayatkan oleh Imam An-Nawawi dalam kitabnya al-Adzkaar hal 261.

Dalam sanad riwayat ini ada seorang perawi yang bernama Ghiyaats bin Ibraahiim. Dan perawi ini dinilai lemah oleh para ahli hadits, bahkan tertuduh sebagai pendusta. Berikut saya sebutkan perkataan para Ahli Hadits.

Adz-Dzahabi As-Syaafi’i berkata :
“Ghiyaats bin Ibraahiim An-Nakho’iy meriwayatkan dari Al-A’masy dan yang lainnya.

Imam Ahmad berkata, “Orang-orang meninggalkan haditsnya Ghiyaats”.

‘Abbaas meriwayatkan dari Imam Yahya, ia berkata : “Ghiyaats tidak tsiqoh/terpercaya”.

Al-Juzjaaniy berkata, “Aku mendengar lebih dari satu orang berkata, “Ghiyaats memalsu hadits”. Imam Al-Bukhari berkata, “Mereka (para ahli hadits) meninggalkannya” (Miizaan Al-I’tidaal fi naqd ar-Rijaal 3/337)

Ibnu Hajar Al-‘Asqolaani As-Syaafi’i berkata :
“Dan Al-Aajurriy berkata : “Aku bertanya kepada Abu Dawud (*tentang Ghiyaats) maka ia berkata : “Kadzdzaab (Pendusta)”, dan ia suatu kali pernah berkata, “Tidak tsiqoh/dipercaya dan tidak amanah”. Ibnu Ma’iin berkata, “(*Ghiyaats) pendusta yang buruk. As-Saajiy berkata, “Mereka meninggalkannya”, Sholeh Jazrah berkata : “Ia memalsukan hadits” (Lisaan Al-Miizaan 6/311)

Dari perkataan para Imam ahli hadits di atas yang disampaikan oleh Adz-Dzahabi dan Ibnu Hajr rahimahumullah maka bisa kita simpulkan bahwasanya riwayat dari Ibnu Abbas ini adalah riwayat yang dusta, karena dalam sanadnya ada perawi yang pendusta yaitu Ghiyaats bin Ibroohiim An-Nakho’iy Al-Kuufiy.

KEDUA : Habib Munzir mengatakan bahwa atsar ini diriwayatkan oleh Imam Al-Haakim dan At-Thobrooniy dengan sanad yang hasan. Maka bisakah Habib Munzir menyebutkan dalam buku-buku apa saja mereka berdua meriwayatkan atsar ini? Agar kita bisa mendapat faedah lebih banyak dan bisa mengecek sanad riwayat ini. Kemudian Ulama Ahli hadits siapakah yang telah menghukumi bahwasanya sanad riwayat ini adalah hasan? Ataukah Habib Munzir sendiri (yang konon merupakan pakar hadits dan ahli sanad) yang telah menyatakan riwayat ini hasan??!!. Karena riwayat yang terdapat dalam kitab Ibnu Sunniy riwayatnya maudhuu’ (palsu), dan Habib menyatakan bahwasanya riwayat atsar ini sanadnya hasan, saya menunggu jawaban Habib Munzir…, jika Habib Munzir bisa mendatangkan sanad periwayatannya maka kita berusaha menilai keabsahan sanad tersebut Alhamdulillah, akan tetapi jika tidak ada maka berarti riwayat ini adalah riwayat yang palsu..!!!.

KETIGA : Jika kita mengatakan bahwa riwayat ini shahih maka inipun tidak bisa dijadikan dalil untuk membolehkan meminta kepada mayat. Hal ini nampak dari beberapa sisi :

Pertama : Ibnu Abbaas berkata kepada orang tersebut “Sebutlah orang yang paling engkau cintai !”. Ibnu Abbaas tidak berkata, “Berisitghotsahlah engkau kepada orang yang engkau cintai !!”. Dan jawaban orang tersebut adalah, “Muhammad”, sesuai dengan anjuran Ibnu Abbaas. Ia tidak berkata, “Yaa Muhammad tolonglah aku..!!”, atau berkata, “Yaa Muhammad sembuhkanlah aku !!”, akan tetapi ia hanya sekedar menyebut nama orang yang paling dia cintai yaitu “Muhammad”.

Kedua : Tentunya berbeda antara istighootsah dengan hanya sekedar menyebut nama. Kalau istighootsah adalah seruan (memanggil) yang disertai dengan tolabul ghouts (permohonan pertolongan). Dan dalam atsar Ibnu Abbaas ini sangat jelas, lelaki tersebut sama sekali tidak sedang meminta pertolongan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan lelaki tersebut tidak menyeru Nabi dan berkata, “Wahai atau Yaa Muhammad”, akan tetapi ia hanya menyebut nama “Muhammad” tanpa disertai dengan seruan “wahai” atau “yaa”. Kalaupun lelaki tersebut mengatakan “Wahai Muhammad” maka inipun bukan istighootsah karena tidak disertai dengan permohonan pertolongan.

Ketiga : Kalau hanya sekedar menyebut nama atau menyeru nama seseorang tanpa permohonan pertolongan sudah dikatakan istighootsah, maka jika seseorang sedang stress lantas menyebut nama istrinya (yang sangat ia cintai) agar pikirannya tenang, maka apakah orang ini dikatakan telah beristighootsah dengan istrinya?, dengan beristighootsah dengan wanita yang jauh lebih lemah darinya??

Keempat : Dalam kisah ini, Ibnu Abbaas menyarankan untuk menyebut seorang yang paling dicintai oleh lelaki tersebut. Ibnu Abbas tidak mempersyaratkan bahwasanya orang yang paling dicintai tersebut harus merupakan ruh orang yang sudah wafat atau orang yang sedang hadir di situ. Bahkan Ibnu Abbaas sama sekali tidak mempersyaratkan bahwa orang yang dicintai tersebut harus merupakan ruh orang yang sholeh yang dipersangkakan memiliki manzilah di sisi Allah

Lantas jika tenyata lelaki tersebut ternyata menyebutkan nama istrinya atau anaknya yang sangat dia cintai, maka bukankah ia telah melaksanakan anjuran Ibnu Abbaas??, lantas…

– Apakah ini adalah istighootsah menurut Habib Munzir???:

– Apakah dikatakan ia beristighootsah dengan anaknya atau istrinya yang jauh lebih lemah darinya??

– Lantas apakah Habib Munzir membolehkan untuk beristighootsah dengan orang yang tidak hadir di situ dan tidak bisa mendengarkan permintaan tolong lelaki tersebut??. Tentunya Habib Munzir sepakat jika seseorang sedang sakit terbaring di rumah sakit lantas ia mengingat orang yang paling dicintainya (seperti istrinya atau anaknya atau ibunya), lalu ia menyebut namanya, dan ternyata orang yang dicintainya tersebut masih hidup dan posisinya jauh dari rumah sakit, maka ini tentunya bukanlah isitighootsah

KEEMPAT : Apa sih sisi pendalilan dari kisah Ibnu Abbaas ini sehingga bisa dijadikan dalil akan bolehnya berisitighootsah kepada mayat?

Tentunya berdasarkan pemahaman orang-orang yang membolehkan meminta tolong dan beristighootsah kepada mayat maka sisi pendalilannya sebagai berikut : “Lelaki tersebut sedang menghadapi kesulitan yaitu kakinya keram, dan Ibnu Abbas menganjurkannya untuk meminta tolong (beristighootsah) kepada orang yang dicintainya. Ternyata lelaki tersebut beristighootsah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah meninggal dunia. Dan hal ini tidak diingkari oleh Ibnu Abbaas, bahkan merupakan bentuk pengamalan dari anjuran Ibnu Abbaas”.

Demikianlah kira-kira sisi pendalilannya. Karena jika sisi pendalilannya tidak seperti ini maka atsar (kisah) ini sama sekali tidak bisa dijadikan dalil untuk beristighootsah kepada mayat orang sholeh.

Lantas sekarang saya jadi bertanya, Apakah menurut Habib Munzir seseorang boleh beristighootsah kepada Nabi Muhammad meskipun tidak dihadapan kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?? Bukankah ini merupakan kesyirikan yang nyata??, Karena tidaklah seorang hamba yang ada di Indonesia yang terkena musibah dan kesulitan lantas beristighootsah kepada Nabi shallallahu ‘alaih wa sallam kecuali ia memiliki keyakinan-keyakinan berikut :

– Meyakini bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar permintaan tolongnya meskipun jasad Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkubur di Madinah sementara sang hamba berada di Indonesia

– Meyakini bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan hanya sekedar mendengar, bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui kondisinya yang sedang menghadapi kesulitan. Dan inilah yang diyakini oleh seorang habib yang lebih senior dan mendunia daripada Habib Munzir, yaitu Habib Alawi Al-Maliki Al-Hasanni, ia berkata dalam kitabnya “Mafaahiim yajibu an Tushohhah” tentang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

فَإِنَّهُ حَيِّيُ الدَّارَيْنِ دَائِمُ الْعِنَايَةِ بِأُمَّتِهِ، مُتَصَرِّفٌ بِإِذْنِ اللهِ فِي شُؤُوْنِهَا خَبِيْرٌ بِأَحْوَالِهَا

“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hidup di dunia dan akhirat, senantiasa memperhatikan umatnya, mengatur urusan umatnya dengan izin Allah dan mengetahui keadaan umatnya”

– Meyakini bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam mampu untuk menghilangkan kesulitan yang sedang dihadapinya dengan izin Allah.

Lantas bagaimana jika ruuh yang dimintai tolong tersebut adalah selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka apakah Habib Munzir juga membolehkan untuk beristighootsah kepada ruh tersebut …meskipun tidak di hadapan kuburannya?? Dengan berkeyakinan bahwasanya ruh-ruh orang sholeh bisa menghilangkan kesulitan dengan izin Allah?? Sebagaimana juga yang diyakini oleh Alawi Al-Maliki pendukung kesyirikan…??. Alawi Al-Maaliki Al-Hasani berkata :

والحاصل أنه لا يكفر المستغيث إلا إذا اعتقد الخلق والإيجاد لغير الله تعالى ، والتفرقة بين الأحياء والأموات لا معنى لها فإنه من اعتقد الإيجاد لغير الله كفر …

وأنت تعلم أن غاية ما يعتقد الناس في الأموات هو أنهم متسببون ومكتسبون كالأحياء لا أنهم خالقون موجدون كالإله

“Intinya sesungguhnya orang yang beristighootsah (*kepada mayat) tidaklah kafir kecuali jika ia meyakini ada selain Allah yang menciptakan. Dan pembedaan antara orang-orang yang hidup dengan mayat-mayat tidak ada artinya, karena barangsiapa yang meyakini ada yang menciptakan selain Allah maka kafir….dan engkau mengetahui bahwasanya puncak dari apa yang diyakini manusia tentang mayat-mayat bahwasanya mayat-mayat tersebut hanyalah sebagai sebab dan usaha saja sebagaimana orang-orang hidup, dan bukanlah mayat-mayat tersebut adalah para pencipta sebagaimana Tuhan”

Habib Alawi Al-Maaliki Al-Hasani berpendapat sama seperti Habib Munzir bahwa mayat-mayat merupakan sebab untuk mendatangkan pertolongan, dan tidak ada perbedaan antara orang hidup dan orang mati. Bahkan Habib Alawi Al-Maaliki Al-Hasani berpendapat seseorang boleh beristighootsah kepada mayat sholeh dan tidak akan dikatakan perbuatannya syirik selama ia meyakini bahwa mayat tersebut hanya sebab atau telah diberi izin oleh Allah. Lihat kembali artikel (http://www.firanda.com/index.php/artikel/bantahan/128-bantahan-terhadap-abu-salafy-seri-7-perkataan-abu-salafy-berdoa-kepada-selain-allah-tidak-mengapa-selama-tidak-syirik-dalam-tauhid-rububiyah)

KELIMA : Kalaupun atsar ini shahih lantas apakah bisa menjadi dalil bagi kelompok orang yang bermadzhab Aysa’ari untuk membangun suatu aqidah??!!!. Bukankah orang-orang Asya’ari mempersyaratkan bahwasanya yang bisa dijadikan dalil untuk permasalahan aqidah haruslah dalil yang mutawaatir dan bukan dalil yang ahad??!! (yang persayaratan ini adalah warisan yang diambil oleh orang-orang Asyaairoh dari kaum mu’tazilah, dan insyaa Allah akan ada pembahasannya secara khusus !!)

Ini semua jika riwayat tersebut shahih, ternyata seperti yang sudah dijelaskan bahwa riwayat tersebut adalah PALSU.
===============
Title : Bersitighotsah Kepada Mayat
Description : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : يَجْمَعُ اللهُ النَّاسَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيَقُوْلُوْنَ لَوِ اسْتَشْفَعْنَا عَلَ...