Berdoa Meminta Pertolongan Kepada Nabi

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allâh Azza wa Jalla . Maka, umat Islam wajib mengagungkan dan memuliakan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan cara-cara yang syar’i, jauh dari tindakan-tindakan yang melewati batas. Sebab, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga sebagai manusia biasa. Beliau seorang hamba Allâh Azza wa Jalla . Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memiliki hak rubûbiyah (berkuasa terhadap alam semesta) dan hak ulûhiyah (diibadahi/disembah) sedikitpun.

Akan tetapi, di masa ini, tidak sedikit orang yang melewati batas dalam mengagungkan dan menghormati Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mereka beranggapan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa memberikan pertolongan jika umat berdoa kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ini merupakan perbuatan yang menyimpang secara nyata. Untuk itu, kami akan menjelaskan beberapa fakta yang membantah anggapan tersebut.

PELAJARAN DARI KEMATIAN ABU THALIB

Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mampu memberikan petunjuk kepada pamannya, walaupun Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam amat mengharapkannya, sebagaimana disebutkan dalam hadits di bawah ini:

عَنْ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ لَمَّا حَضَرَتْ أَبَا طَالِبٍ الْوَفَاةُ جَاءَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَجَدَ عِنْدَهُ أَبَا جَهْلٍ وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي أُمَيَّةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ فَقَالَ أَيْ عَمِّ قُلْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ كَلِمَةً أُحَاجُّ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِفَلَمْ يَزَلْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْرِضُهَا عَلَيْهِ وَيُعِيدَانِهِ بِتِلْكَ الْمَقَالَةِ حَتَّى قَالَ أَبُو طَالِبٍ آخِرَ مَا كَلَّمَهُمْ عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَأَبَى أَنْ يَقُولَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاللَّهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ أُنْهَ عَنْكَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَأَنْزَلَ اللَّهُ فِي أَبِي طَالِبٍ فَقَالَلِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ

Dari Sa’îd bin Musayyab, dari ayahnya (Musayyab bin Hazn), dia berkata, “Tatkala (tanda) kematian datang kepada Abu Thâlib, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatanginya. Beliau mendapati Abu Jahal dan ‘Abdullâh bin Abi Umayyah bin Mughirah berada di dekatnya. Lalu beliau berkata: ‘Wahai pamanku, katakanlah Lâ ilâha illâ Allâh, sebuah kalimat yang dengannya aku akan berhujjah untukmu di sisi Allâh!’. Abu Jahal dan ‘Abdullâh bin Abi Umayyah mengatakan: ‘Apakah engkau akan meninggalkan agama ‘Abdul Muththalib?”. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallamterus-menerus menawarkan itu kepadanya, dan keduanya juga mengulangi perkataan tersebut. Akhirnya, perkataan yang dikatakan Abi Thâlib kepada mereka bahwa dia (tetap) di atas agama ‘Abdul Muththâlib. Dia enggan mengatakan Lâ ilâha illâ Allâh. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Demi Allâh, aku akan memohonkan ampun untukmu selama aku tidak dilarang (berbuat itu) kepadamu. Maka Allâh menurunkan (ayatNya), “Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allâh) bagi orang-orang musyrik”. (At-Taubah/9:113). Dan Allâh menurunkan (ayat-Nya) tentang Abu Thâlib: “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allâh memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya”. (Al-Qashshash/28: 56) [HR. Al-Bukhârino: 4772 dan Muslim no: 24].

Dalam riwayat Imam Muslim rahimahullah disebutkan bahwa waktu itu, Abu Thâlib menjawab dengan perkataan:

لَوْلَا أَنْ تُعَيِّرَنِي قُرَيْشٌ يَقُولُونَ إِنَّمَا حَمَلَهُ عَلَى ذَلِكَ الْجَزَعُ لَأَقْرَرْتُ بِهَا عَيْنَكَ

Seandainya suku Quraisy tidak akan mencelaku, yaitu mereka akan mengatakan: “Sesungguhnya yang mendorongnya (Abu Thalib) mengatakan itu hanyalah kegelisahan (menghadapi kematian)”, sungguh aku telah menyenangkanmu dengan kalimat itu. [HR. Muslim no: 25].

Syaikh ‘Abdurrahmân bin Hasan Alu Syaikh rahimahullah berkata, “Dan di antara hikmah ar-Rabb (Allâh) Azza wa Jalla tidak memberi petunjuk kepada Abu Thâlib menuju agama Islam, agar Dia Azza wa Jalla menjelaskan kepada hamba-hamba-Nya bahwa (petunjuk menuju Isalm) itu hanya hak Allâh Azza wa Jalla , Dialah Yang Berkuasa, siapa saja selain-Nya tidak berkuasa. Jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan makhluk-Nya yang paling utamamemiliki kekuasaanmemberi hidayah hati, menghilangkan kesusahan-kesusahan, mengampuni dosa-dosa, menyelamatkan dari siksa, dan semacamnya, maka manusia yang paling berhak dan paling utama mendapatkannya adalah pamannya, yang dahulu melindungi Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , menolongnya, dan membelanya. Maha Suci (Allâh) Yang hikmah-Nya mengagumkan akal-akal (manusia), dan telah membimbing hamba-hamba-Nya menuju jalan yang menunjukkan kepada mereka kepada ma’rifah (pengenalan) dan tauhid (pengesaan) kepada-Nya, dan mengikhlasakan serta memurnikan seluruh amal hanya untuk-Nya”. [Fathul Majîd, hlm: 191-192, Dar Ibni Hazm]

PELAJARAN DARI QUNUT NAZILAH

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ مِنْ الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ مِنْ الْفَجْرِ يَقُولُ اللَّهُمَّ الْعَنْ فُلَانًا وَفُلَانًا وَفُلَانًا بَعْدَ مَا يَقُولُ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ فَأَنْزَلَ اللَّهُ لَيْسَ لَكَ مِنْ الْأَمْرِ شَيْءٌ إِلَى قَوْلِهِ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ

Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu bahwa dia mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika setelah mengangkat kepalanya dari rukuk dari rakaat akhir dari sholat Shubuh, Beliaun mengatakan: “Wahai Alloh laknatlah Si Fulan, Si Fulan, dan Si Fulan”, setelah beliau mengatakan “Sami’alloohu liman hamidah robbanaa walakal hamdu. Kemudian Allâh menurunkan (ayat-Nya), “Tidak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allâh menerima taubat mereka, atau mengadzab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zhalim. (Ali-Imrân/3:128)”. [HR. Al-Bukhârino: 4069].

Dalam riwayat lain disebutkan, Ibnu ‘Umar Radhiyalalhu anhu mengatakan:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْعُو عَلَى صَفْوَانَ بْنِ أُمَيَّةَ وَسُهَيْلِ بْنِ عَمْرٍو وَالْحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ فَنَزَلَتْ لَيْسَ لَكَ مِنْ الْأَمْرِ شَيْءٌ إِلَى قَوْلِهِ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ

Dahulu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan celaka bagi Shawfan bin Umayyah, Suhail bin ‘Amr, dan Al-Hârits bin Hisyâm. Lalu turun (ayat): “Tidak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allâh menerima taubat mereka, atau mengadzab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim. (Ali-Imrân/3: 128)”. [HR. Bukhari, no: 4070]

Syaikh Shâlih Al-Fauzân hafizhahullâh berkata, “Dalam hadits tersebut terdapat keterangan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mampu menolak gangguan musyrikin dari diri Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabat g . Bahkan Beliau nberlindung kepada Rabbnya, Al-Qadîr (Yang Maha Kuasa), Al-Mâlik (Yang Maha Memiliki). Ini termasuk perkara yang menunjukkan kebatilan keyakinanyang diyakini oleh penyembah kubur tentang para wali dan orang-orang shalih (yang dianggap mampu memenuhi kebutuhan dan menghilangkan kesusahan-pen)”.[Al-Mulakhkhas fî Syarh Kitâb At-Tauhîdhlm. 108].

PELAJARAN DARI PERANG UHUD

Tentang sifat sebagaimanusia padadiriNabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga ditunjukkan oleh musibah yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam alami, seperti dalam Perang Uhud. Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan:

عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُسِرَتْ رَبَاعِيَتَهُ يَوْمَ أُحُدٍ وَشُجَّ فِي رَأْسِهِ فَجَعَلَ يَسْلُتُ الدَّمَ عَنْهُ وَيَقُولُ كَيْفَ يُفْلِحُ قَوْمٌ شَجُّوا نَبِيَّهُمْ وَكَسَرُوا رَبَاعِيَتَهُوَهُوَ يَدْعُوهُمْ إِلَى اللَّهِ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَيْسَ لَكَ مِنْ الْأَمْرِ شَيْءٌ

Dari Anasn bahwa pada Perang Uhud, gigi geraham Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam patah, dan kepala beliau terluka, maka beliau mengusap darah dari kepala beliau sambil mengatakan: “Bagaimana akan mendapatkan keberuntungan, satu kaum yang melukai kepala Nabi mereka dan mematahkan gigi gerahamnya, sedangkan Nabi itu mengajak mereka menuju (peribadahan kepada) Allâh?”. Maka Allâh menurunkan (ayat–Nya): “Tidak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu) ( Ali Imrân/3: 128)”. [HR. Muslim no.1791].

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Terjadinya sakit dan ujian kepada para nabi –semoga Allâh melimpahkan sholawat dan salam kepada mereka- adalah agar mereka mendapatkan pahala yang besar, dan agar umat mereka mengetahui apa yang telah menimpa mereka dan umat pun bisa meneladani mereka”. Al-Qâdhi rahimahullah berkata, “Dan agar diketahui bahwa mereka (para nabi itu) termasuk manusia, ujian-ujian dunia juga menimpa mereka, dan apa yang mengenai tubuh-tubuh manusia juga mengenai tubuh mereka, agar diyakini bahwa mereka adalah makhluk, yang dikuasai (oleh Allâh). Dan agar umat tidak tersesat dalam menyikapi mukjizat-mukjizat yang muncul lewat tangan merekadan syaithan mengaburkan dari hakikat para nabi , sebagaimana yang telah dilakukannya terhadap orang-orang Nashrâni dan lainnya”. [Nukilan dari Fathul Majîd hlm. 166-167] .

Melalui beberapa hadits ini dan keterangan Ulama, semoga menjadi jelas bagi kitasemua kedudukan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia, sehingga kita menempatkan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tempat yang selayaknya. Alhamdulillâh.

Oleh Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIX/1436H/2015M. ]

Title : Berdoa Meminta Pertolongan Kepada Nabi
Description : Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allâh Azza wa Jalla . Maka, umat Islam wajib mengagungkan dan memuliakan Beliau S...