Puasa Asyura Bukan Alasan Maulid

Diantara argumen yang dijadikan landasan dalam peringatan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah puasa Asyura yang dilakukan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mengatakan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat mementingkan nilai kesejarahan sebuah kejadian. Beliau sadar bahwa waktu tidak mungkin kembali lagi dan manusia hanya bisa mengingat momentum tersebut dan menjadikannya sebagai ‘ibroh’ pelajaran di masa kini dan masa depan.

Oleh karena itulah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan umatnya untuk berpuasa pada tanggal 10 bulan Muharram (Asyura’) untuk memeringati kemenangan Nabi Musa Alaihissallam atas raja Fir’aun. Ini disebutkan dalam sebuah hadits dari Abdullâh bin Abbas Radhiyallahu anhuma dalam Shahih Bukhari, no. 1900 :

قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيهِ وَسَلَّمَ المَدِيْنَةَ فَرَأَى اليَهُوْدَ تَصُوْمُ يَوْمَ عَاشُوْرَاء فَقَالَ:ماَ هَذَا ؟ قَالُوْا هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللهُ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوْسَى. قَالَ: فَأَناَ أَحَقُّ بِمُوْسَى مِنْكُمْ. فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ

Tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat orang-orang Yahudi melakukan puasa di hari ‘Asyura. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Hari apa ini ?” Orang-orang Yahudi menjawab, “Ini adalah hari baik, pada hari ini Allâh selamatkan Bani Israil dari musuhnya, maka Musa Alaihissallam berpuasa pada hari ini.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Saya lebih berhak mengikuti Musa daripada kalian (kaum Yahudi).” Maka beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan ummatnya untuk melakukannya”. [HR. al-Bukhâri]

Kesadaran Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas pentingnya nilai sejarah haruslah kita teladani. Diantara bukti peneladanan kita tersebut yaitu dengan mengadakan peringatan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena yang demikian itu sungguh akan mengingatkan kita pada terbitnya ‘cahaya’ yang menyinari jagad raya.

Jawaban :

Apa yang disampaikan di atas hanyalah merupakan syubhat yang lontarkan untuk membentuk opini agar kaum Muslimin bisa menerima peringatan Maulidin Nabi sebagai sebuah ajaran dan cara beribadah. Namun syubhat ini, bisa dijawab dari beberapa sisi. Jawaban-jawaban ini kami angkat dari kitab Rasâ’il Fi Hukmil Ihtifâl bil Maulidin Nabawi, hlm. 133-135 :

Pertama : Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah merayakan hari kelahirannya, tidak pula para shahabatnya Radhiyallahu anhum, begitu pula para Tabi’in dan para Ulama besar setelah mereka tidak merayakan hari kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seandainya itu merupakan sebuah kebaikan tentu mereka telah melakukan perayaan sebelum kita melakukannya. Jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukannya lalu kita melakukan, maka hendaklah kita mengingat sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Barangsiapa melakukan sebuah amalan tanpa ada contoh dari kami maka amalan tersebut tertolak.”

Jika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukannya, maka “ibadah” perayakan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu tertolak kepada mereka yang mengada-adakannya, dikemblikan kepada mereka yang mengamalkannya, yang menyerukannya, dan kepada orang yang beranggapan kalau itu adalah bid’ah hasanah.

Kedua : Adapun perkataan menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat memperhatikan kejadian-kejadian penting yang telah berlalu dan bersifat keagamaan, ini adalah perkataan yang tidak berdasar. Tidak pernah ada riwayat yang menjelaskan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan waktu kejadian penting yang telah berlalu sebagai momen perayaan dan pengagungan waktu tersebut. Tidak ada riwayat yang menerangkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan ibadah puasa, memberikan makan kepada orang yang membutuhkan atau ibadah lain dalam rangka merayakan atau mengenak waktu kejadian-kejadian penting tersebut. Ini semua tidak ada dasarnya dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ini semua hanya sangkaan yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Kalau kita melihat berbagai peristiwa yang mewarnai perjalanan hidup dan dakwah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , kita akan dapati banyak sekali kejadian-kejadian penting dan bersejarah dalam hidup Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Diantara peristiwa penting dan bersejarah itu adalah peristiwa kedatangan Malaikat Jibril yang membawa risalah kenabian ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di gua Hirâ, kejadian Isrâ’ dan Mi’râj, hijrah ke Madinah, peperangan Badr, penaklukan kota Mekah, dan kejadian-kejadian bersejarah lainnya. Betapa besar dan bersejarahnya peristiwa-peristiwa di atas, namun tidak pernah ada riwayat yang menerangkan bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat acara-acara kumpul-kumpul untuk mengenang dan mengagungkan berbagai peristiwa besar dan bersejarah tersebut. Seandainya benar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat memperhatikan nilai sejarah dari sebuah kejadian yaang telah berlalu, niscaya Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengadakan perkumpulan dalam rangka merayakan serta mengagungkan. Tidak adanya riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal tersebut merupakan bukti kuat yang menunjukkan dugaan di atas tidak benar.

Yang terakhir, puasa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam di hari ‘Asyura bukanlah sebuah hujjah atau sebuah kaidah yang bisa dijadikan alasan perlunya mengadakan perayaan maulidan, karena perintah melakukan puasa ‘Asyûra itu ada sebelum puasa Ramadhan diwajibkan. Setelah puasa Ramadhan diwajibkan oleh Allâh Azza wa Jalla , Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ شَاءَ صَامَ وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ

barang siapa yang mau berpuasa (‘asyura) maka berpuasalah, dan barang siapa yang tidak berpuasa maka tidaklah mengapa

Hadist di atas diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri dan Imam Muslim dari hadist Aisyah Radhiyallahu anhuma dan Ibn Umar Radhiyallahu anhuma. Dalam Shahîh al-Bukhâri dan Muslim juga terdapat hadist dari ‘Alqamah bin Qais an-Nakhâ’i Radhiyallahu anhu, bahwasanya al-Asy’as bin Qais datang kepada Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu pada hari ‘Asyura dan beliau sedang makan. Al-Asy’as berkata, “Wahai Abu Abdirahaman ! Sesungguhnya hari ini adalah hari ‘Asyûra. “ Mendengar ini, Abdullâh Radhiyallahu anhu mengatakan :

قَدْ كَانَ يُصَامُ قَبْلَ أَنْ يَنْزِلَ رَمَضَانُ فَلَمَّا نَزَلَ رَمَضَانُ تُرِكَ

Puasa ‘Asyura dilakukan sebelum diwajibkannya puasa Ramadhân, setelah diwajibkan puasa Ramadhân, puasa ‘Asyûra (boleh) tidak dilakukan

Dalam Shahîh Muslim juga terdapat hadist dari Jabir bin Samurah Radhiyallahu anhuma, beliau berkata :

كَانَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُنَا بِصِيَامِ يَوْمِ عَاشُوْرَاءَ وَيَحُثُّنَا عَلَيْهِ وَيَتَعَاهَدُنَا عِنْدَهُ فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ لَمْ يَأْمُرْنَا وَلَمْ يَنْهَنَا وَلَمْ يَتَعَاهَدْنَا عِنْدَهُ

Dahulu Rasûlullâh memerintahkan, serta mewanti-wanti kami dengan puasa ‘Asyûra, namun setelah Ramadhan diwajibkan Beliau tidak memerintahkan, tidak melarang kami, tidak pula mewanti-wanti kami dengan puasa ‘Asyûra

Hadits-hadits shahih diatas merupakan bantahan terhadap orang yang menjadikan puasa ‘Asyûra sebagai dalih pembenar untuk melakukan maulidan. Tidak ada dalam hadits puasa ‘Asyûra peletakan sebuah kaidah yang menyatakan bahwa setiap kejadian penting harus diperingati dan dirayakan.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XVII/1435H/2013M.]


Title : Puasa Asyura Bukan Alasan Maulid
Description : Diantara argumen yang dijadikan landasan dalam peringatan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah puasa Asyura yang dilakukan oleh...