Adapun yang diterangkan dalam hadits Shahih Muslim, bahwa
Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Berbahagialah dia, demi bapaknya, bila dia benar”
[HR. Muslim dalam kitab Iman, bab penjelasan shalat yang merupakan salah satu rukun Islam 1/40 dari hadits Thalhah bin ‘Ubaidillah Radhiyallahu ‘anhu.],
terdapat beberapa penjelasan sebagai berikut :
1). Sebagian ulama mengingkari lafazh ini dan mengatakan, bahwa lafazh ini tidak ada dalam hadits karena bertolak belakang dengan tauhid. Bila demikian, maka tidak boleh menisbatkan hal ini kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi, hal ini adalah batil.
2). Lafazh ini merupakan penulisan dari para perawi. Asalnya ialah “berbahagialah dia, demi Allah, bila dia benar”. Mereka (para perawi) tidak memberi syakal (harakat) pada tulisan. Padahal, tulisan abihi (ابيه) serupa dengan tulisan lafzhul jalalah, Allah (اـلـله ) apabila dibuang titik-titik di bawahnya.
3). Ucapan ini merupakan ungkapan yang keluar secara spontan dari lisan, tanpa disengaja. Allah berfirman : “Allah tidak akan menghukum kalian atas sumpah-sumpah yang kalian lakukan tanpa sengaja”, dan sumpah ini tidak diniatkan, sehingga tidak akan dihukum.
4). Sumpah ini terjadi pada diri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau adalah orang yang paling jauh dari syirik, sehingga hal ini termasuk kekhususan baginya. Adapun yang lainnya, maka dilarang dari sumpah ini, karena mereka tidak sama dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal keikhlasan dan tauhid.
5). Sumpah ini dibuang mudhafnya. Kalimat asalnya ialah “berbahagialah dia, demi –Tuhan- (mudhaf) bapaknya …”.
6). Sumpah dengan lafazh ini mansukh (dihapuskan legalisasinya) dan pelarangannyalah yang diberitakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak asal tentang masalah ini. Dan inilah pendapat yang paling dekat dengan kebenaran.
Kalau ada yang mencoba membalikkan bahwa larangan itulah yang dimansukh, karena ketika itu mereka baru saja lepas dari budaya syirik, sehingga mereka dilarang berbuat syirik sebagaimana manusia pun dilarang dari ziarah kubur di awal masa mereka bebas dari syirik, kemudian mereka diizinkan melakukannya setelah itu?
Kita jawab, bahwa sumpah ini terucap dari lisan mereka, lalu dibiarkan sehingga keimanan dalam jiwa mereka mantap, setelah itu, kemudian dilarang. Ini sama dengan dibiarkannya mereka untuk minum khamr, setelah itu mereka diperintah untuk menjauhinya.
Adapun tentang jawaban pertama di atas, maka jawaban ini lemah, karena hadits ini shahih. Oleh karena itu, selama hadits ini masih mungkin diarahkan kepada pemahaman yang shahih, maka tidak boleh diingkari.
Tentang keterangan kedua, ini pun terlalu jauh bila mungkin ditoleransi. Tidak mungkin terjadi pada ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya “shadaqah apakah yang paling utama?”, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab “adapun, demi bapakmu, kamu pasti akan diberitahu……dan seterusnya” [HR. Muslim].
Penjelasan ketiga, juga tidak benar, karena larangan itu ada, sekalipun terucap secara spontan dari lisan, sebagaimana pernah dilakukan oleh Sa’ad, yang kemudian dilarang oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[Sa’d Bin Abi Waqash berkata:”Aku pernah bersumpah sekali dengan menyebut Latta dan Uzza, lalu Nabi menimpaliku : ‘Katakan Laa ilaaha illallah wahdahu laa syariikalah. Kemudian meludahlah ke kiri 3 kali dan kemudian berlindunglah dan jangan kamu ulangi! ” Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad (1/183,186,187), Ath Thahawy dalam Al Musykil (1/360) dan di dalamnya ada perintah untuk beristighfar sebagai pengganti dari berlindung, . dan Ibnu Hibban. Hadits ini dhaif sebagaimana dijelaskan dalam Irwaul Ghalil (8/193).]
Seandainya hal ini benar, maka boleh pula kita katakan kepada orang yang biasa melakukan perbuatan syirik, bahwa ia tidak boleh dilarang karena ini sudah menjadi kebiasaannya. Dan ini merupakan kebatilan.
Adapun jawaban keempat yang mengklaim pengkhususan untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hal ini membutuhkan dalil khusus. Kalau tidak ada, maka dikembalikan kepada hukum asal, yaitu umat boleh mengikuti beliau dalam masalah ini.
Keterangan kelima juga lemah, karena pada asalnya tidak ada lafazh yang dibuang. Lagi pula, adanya lafazh yang dibuang di sini bisa menimbulkan pemahaman yang batil. Tidak mungkin Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara dengan pembicaraan yang berakibat demikian, tanpa menjelaskan yang dimaksud.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan itu, maka jawaban yang paling dekat dengan kebenaran adalah jawaban yang keenam, bahwa itu adalah mansukh (dihapuskan). Kita tidak bisa memastikan hal itu, karena ketidaktahuan kita tentang sejarah. Oleh karena itu, kita katakan, itu adalah jawaban yang paling dekat, wallahu a’lam.
Sekalipun Imam An Nawawi rahimahullah berpendapat bahwa sumpah ini terucap secara spontan dari lisan tanpa sengaja, akan tetapi pendapat ini lemah. Tidak mungkin kita berpendapat seperti itu. Kemudian, saya melihat sebagian ulama memastikan syadznya hadits ini, karena menyendirinya Imam Muslim dalam meriwayatkan hadits ini dari Bukhari, serta berseberangannya para perawinya dengan orang-orang yang tsiqat (terpercaya)
[Al Qaulul Mufid (3/ 214- 217)].
Title : Bersumpah Kepada Selain Allah
Description : Adapun yang diterangkan dalam hadits Shahih Muslim, bahwa Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Berbahagialah dia, demi bapa...
Description : Adapun yang diterangkan dalam hadits Shahih Muslim, bahwa Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Berbahagialah dia, demi bapa...